Selasa, Mei 05, 2009

Sejarah Pura

Catatan:
Tahun 2006 yang lalu, saat diselenggarakan upacara Padudusan Agung di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, saya dipercaya oleh Bp. Drs. I wayan Patera, M.Hum yang juga Bendesa Desa Pakraman Bedulu untuk merancang tata letak buku sekaligus melengkapi foto dan gambar tentang Pura Samuan Tiga. Berikut saya kutip beberapa bagian penting dari buku tersebut kemudian saya rangkum dengan data dari berbagai sumber untuk memberi gambaran sekilas tentang Pura Samuan Tiga.
Uraian tentang tata ruang dan arsitektur Pura Samuan Tiga berikut gambar peta, tapak, denah dan perspektif, saya rangkum sendiri berdasarkan pengamatan dan catatan (dari sudut pandang sebagai arsitek) yang saya buat selama persiapan dan saat upacara Padudusan Agung tahun 2006.


Pura Samuan Tiga
Jika menyisir keberadaan Bedulu dan Pura Samuan Tiga dari data teks tentang sejarah Bali masa lalu, Drs. I Wayan Patera, M.Hum, yang juga Klian Paruman Pura Samuan Tiga, dalam tulisannya tentang Pura Samuan Tiga mengutip lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga, sebagai berikut:

“….. ri masa ika hana malih kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah i kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Rsi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke”
Artinya:
“….. pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Resi (pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuatiga sampai sekarang”

Dari uraian lontar tersebut, menunjukkan bahwa pemberian nama Samuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah tokoh-tokoh segitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana
Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 masehi. Hal tersebut antara lain disebutkan dalam Babad Pasek sebagai berikut:

“….. nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Ciwa, Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga”
Artinya:
“….. dahulukala pada masa bertahtanya Cri Gunapriyadhrmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Ciwa Budha dan Bali Aga, itulah awal mulanya (sebabnnya) ada desa pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga” (Ardana, 1989 : 11)

Dari uraian kedua lontar tersebut data menunjukkan bahwa pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh-tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tri Murti melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiganya.
Dari uraian diatas menimbulkan pertanyaan, apakah pura Samuantiga baru berdiri setelah adanya pertemuan tersebut? Untuk menjawabnya ada baiknya kita simak sejenak Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 yang berkaitan dengan penyebutan Pura Samuantiga, antara lain disebutkan:

“…..samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka mangwangun pura saluwire: Penataran sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hana bale pgat, pgat leteh”.
Artinya:
“….. dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain: Penataran sasih, Samuantiga, taria-tarian di saat upacara, nampyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara,mapalengkungan perang payung, pendet dan ada bale pegat, menghapus ketidak sucian”.

Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana itu disebutkan bahwa Pura Samuantiga/Samantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, belum diketemukan ada raja yang bernama Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di Pura sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/permandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul (Sutterheim, 1992 : 68-69).
Bilamana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrabhayasingha Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 Masehi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun sejaman dengan Pura Tirta Empul, yaitu sekitar abad X.
Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna. Ahli sejarah Bali R. Goris mengatakan bahwa setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/Laut. Pura Tirta Empul sebagai pura gunung dan Pura Samuantiga sebagai pura Penataran, yaitu pura yang berada di pusat kerajaan.
Seperti disebutkan oleh R. Goris, pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain, sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Di antara sekte-sekte tersebut, Ciwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardana 1989 : 56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utama dengan Nyasa (simbo;) tertentu serta berkeyakinan bahwa Dewa istadewatanyalah yang paling utama sedangkan yang lain dianggap lebih rendah. Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu desa dan lebih luas lagi suatu wilayah atau negara.
Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniwan baik dari Bali maupun dari Jawa Timur. Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal tokoh-tokoh rohaniwan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur dikenal ada 5 pendeta bersaudara yang sering dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima pendeta bersaudara itu adalah: Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis). (Soeka, 1986 : 5)
Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah maka diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut diberi nama Pura Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama Pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan Mpu Kuturan menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang berkembang di Bali dan kemudia didominasi oleh sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua sekte tersebut, Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut dipuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga untuk setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya.
Mpu Kuturan, disamping ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan), beliau juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitek agung yang berlandaskan ajaran agama terutama dalam penatan berbagai pura di Bali, termasuk Pura Agung Besakih. Dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan keagamaan, sebagai berikut:

“….. .ngeraris nangun catur agama, catur lokita bhasa, catur sila makadi ngawangan sanggah kamulan, ngawangun kahyangan tiga Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung”
Artinya:
“….. selanjutnya (mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung” (Nala 1997 : 3-6).
Dari uraian singkat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Pura Samuantiga telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran pada masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budha dan Bali Aga yang berhasil menyepakati konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pakraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujud kasukertan di masing-masing desa pakraman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pura Samuantiga adalah cikal bakal dari terwujudnya Desa Pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai wujud penerapan konsep Tri Murti di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar