Selasa, Mei 05, 2009

Info Upacara Padudusan Pura Samuan Tiga

Informasi Padudusan Alit Pura Samuan Tiga, 2009




Catatan:
Setelah bertemu dengan Klian Paruman dan prajuru Pura Samuan Tiga, saya diberikan ruang cukup luas untuk ikut Ngayah dalam penyelenggaraan upacara Mapadudusan Alit Pura Samuan Tiga 2009 ini. Kesertaan saya dalam upacara Padudusan Alit 2009 ini merupakan awal dan persiapan untuk upacara Padudusan Agung yang diselenggarakan tahun 2010 mendatang.
Dalam kegiatan kali ini, sebagai informasi kepada umat , telah saya siapkan beberapa poster ukuran medium untuk dipasang di sekitar wantilan Pura Samuan Tiga. Poster yang berjumlah 6 panel tersebut antara lain:

  • Informasi peta lokasi, denah dan perspektif Pura Samuan Tiga. Kebetulan saya belajar arsitekur sehingga tidak terlalu sulit menyiapkan materi tersebut dan juga kemudahan mendapatkan foto satelit dari Google Earth – 2 poster
  • Dudonan upacara Mapadudusan Alit 2009 – 1 poster
  • Foto-foto dokumentasi upacara Mapadudusan Agung tahun 2004 - 3 poster

Mudah-mudahan informasi yang saya gali tahun ini bisa mendukung kelengkapan informai visual pada upacara Padudusan Agung tahun 2010 mendatang.

Sejarah Pura

Catatan:
Tahun 2006 yang lalu, saat diselenggarakan upacara Padudusan Agung di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, saya dipercaya oleh Bp. Drs. I wayan Patera, M.Hum yang juga Bendesa Desa Pakraman Bedulu untuk merancang tata letak buku sekaligus melengkapi foto dan gambar tentang Pura Samuan Tiga. Berikut saya kutip beberapa bagian penting dari buku tersebut kemudian saya rangkum dengan data dari berbagai sumber untuk memberi gambaran sekilas tentang Pura Samuan Tiga.
Uraian tentang tata ruang dan arsitektur Pura Samuan Tiga berikut gambar peta, tapak, denah dan perspektif, saya rangkum sendiri berdasarkan pengamatan dan catatan (dari sudut pandang sebagai arsitek) yang saya buat selama persiapan dan saat upacara Padudusan Agung tahun 2006.


Pura Samuan Tiga
Jika menyisir keberadaan Bedulu dan Pura Samuan Tiga dari data teks tentang sejarah Bali masa lalu, Drs. I Wayan Patera, M.Hum, yang juga Klian Paruman Pura Samuan Tiga, dalam tulisannya tentang Pura Samuan Tiga mengutip lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga, sebagai berikut:

“….. ri masa ika hana malih kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah i kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Rsi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke”
Artinya:
“….. pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Resi (pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuatiga sampai sekarang”

Dari uraian lontar tersebut, menunjukkan bahwa pemberian nama Samuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah tokoh-tokoh segitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana
Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 masehi. Hal tersebut antara lain disebutkan dalam Babad Pasek sebagai berikut:

“….. nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Ciwa, Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga”
Artinya:
“….. dahulukala pada masa bertahtanya Cri Gunapriyadhrmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Ciwa Budha dan Bali Aga, itulah awal mulanya (sebabnnya) ada desa pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga” (Ardana, 1989 : 11)

Dari uraian kedua lontar tersebut data menunjukkan bahwa pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh-tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tri Murti melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiganya.
Dari uraian diatas menimbulkan pertanyaan, apakah pura Samuantiga baru berdiri setelah adanya pertemuan tersebut? Untuk menjawabnya ada baiknya kita simak sejenak Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 yang berkaitan dengan penyebutan Pura Samuantiga, antara lain disebutkan:

“…..samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka mangwangun pura saluwire: Penataran sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hana bale pgat, pgat leteh”.
Artinya:
“….. dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain: Penataran sasih, Samuantiga, taria-tarian di saat upacara, nampyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara,mapalengkungan perang payung, pendet dan ada bale pegat, menghapus ketidak sucian”.

Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana itu disebutkan bahwa Pura Samuantiga/Samantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, belum diketemukan ada raja yang bernama Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di Pura sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/permandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul (Sutterheim, 1992 : 68-69).
Bilamana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrabhayasingha Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 Masehi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun sejaman dengan Pura Tirta Empul, yaitu sekitar abad X.
Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna. Ahli sejarah Bali R. Goris mengatakan bahwa setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/Laut. Pura Tirta Empul sebagai pura gunung dan Pura Samuantiga sebagai pura Penataran, yaitu pura yang berada di pusat kerajaan.
Seperti disebutkan oleh R. Goris, pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain, sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Di antara sekte-sekte tersebut, Ciwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardana 1989 : 56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utama dengan Nyasa (simbo;) tertentu serta berkeyakinan bahwa Dewa istadewatanyalah yang paling utama sedangkan yang lain dianggap lebih rendah. Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu desa dan lebih luas lagi suatu wilayah atau negara.
Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniwan baik dari Bali maupun dari Jawa Timur. Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal tokoh-tokoh rohaniwan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur dikenal ada 5 pendeta bersaudara yang sering dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima pendeta bersaudara itu adalah: Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis). (Soeka, 1986 : 5)
Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah maka diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut diberi nama Pura Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama Pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan Mpu Kuturan menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang berkembang di Bali dan kemudia didominasi oleh sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua sekte tersebut, Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut dipuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga untuk setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya.
Mpu Kuturan, disamping ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan), beliau juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitek agung yang berlandaskan ajaran agama terutama dalam penatan berbagai pura di Bali, termasuk Pura Agung Besakih. Dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan keagamaan, sebagai berikut:

“….. .ngeraris nangun catur agama, catur lokita bhasa, catur sila makadi ngawangan sanggah kamulan, ngawangun kahyangan tiga Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung”
Artinya:
“….. selanjutnya (mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung” (Nala 1997 : 3-6).
Dari uraian singkat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Pura Samuantiga telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran pada masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budha dan Bali Aga yang berhasil menyepakati konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pakraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujud kasukertan di masing-masing desa pakraman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pura Samuantiga adalah cikal bakal dari terwujudnya Desa Pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai wujud penerapan konsep Tri Murti di Bali.

Bedahulu dalam Kisah dan Tafsir

Beda-Hulu atau Bada-Hulu
Kebanyakan orang Bali, setidaknya mereka yang dekat dengan kisah Bali masa lalu, mendengar kata Bedahulu atau Bedulu tentu akan terbawa pada kisah seorang raja yang memerintah Bali bernama Mayadenawa dengan pusat pemerintahan di seputaran wilayah selatan Pejeng dan timur Goa Gajah. Dalam kisah tentang Mayadenawa ini disebutkan bahwa sang raja amat lalim, memerintah sesuka hati, semena-mena dan yang paling lekat dibenamkan dalam benak kita adalah pelarangan oleh Mayadenawa untuk melakukan ritual agama Hindu. Mayadenawa juga dikisahkan tidak mau tunduk pada konsep penyatuan Nusantara oleh Majaphit sehingga dari sini pula muncul istilah Beda-Hulu yang diartikan sebagai penentangan terhadap Palapa Gajah Mada. Bahkan, pembunuhan karakter bagi sang raja, lebih kasar lagi dengan mengartikan kata Beda-Hulu sebagai wujud fisik sang raja yang berbadan manusia dan berkepala babi.
Kisah Mayadenawa di Bedulu ini tidak saja disuratkan dalam berbagai lembar rontal namun hingga kini kerap disajikan sebagai lakon dalam berbagai pentas kesenian. Topeng, misalnya, paling sering melakonkan tentang kejayaan Dalem (raja Bali era Majapahit) sekaligus meminggirkan keberadaan Mayadenawa yang tentunya berperan besar membangun Bali pada masanya. Alhasil, dibenak anak cucu manusia Bali – dari generasi ke generasi, sosok Mayadenawa dan Bedahulu seolah masa lalu Bali yang gelap gulita dan Majapahit hadir membawa terang.
Tak hanya terkait dengan sisi politik kala itu, sosok Mayadenawa dan Bedahulu digeret pula pada konflik spiritual sehingga Mayadenawa tidak saja ditentang oleh raja tanah Jawa namun dihadapkan pula pada situasi pertentangan dengan para Dewa. Kisah yang melatarbelakangi tukad Pakerisan dan Petanu adalah kesimpulan yang menyudutkan Mayadenawa sebagai figur raja lalim.
Kisah mudah ditulis, lakonpun gampang dipentaskan, namun tinggalan begitu banyak situs purbakala di wilayah juring dataran tinggi Tampak Siring hingga ke dataran Blahbatuh berbicara lain. Pura Tirta Empul, Gunung Kawi, Penataransasih, Kebo Edan, Rejuna Metapa, Gua Gajah, Samuan Tiga, Yeh Pulu, Canggi dan beberapa pura lainnya di kawasan tersebut dengan lugas membuktikan bahwa kawasan Tampak Siring, Pejeng dan Bedahulu (Bedulu) adalah kawasan yang kesehariannya lekat dengan spiritual.
Sebagai wilayah pusat pemerintahan, kala itu, beberapa kalangan menafsir kata Bedulu bukan berasal dari kata Beda Hulu (yang diartikan bertentangan dengan pemimpin) tetapi dari kata Bada Hulu (yang diartikan sebagai tempat teratas atau pusat pemerintahan, bada-tempat, hulu-atas). Entah kata mana yang plesetan dan mana yang benar, kawasan Bedulu memang menyimpan banyak ceritera dan bukti peninggalan masa lalu (pra Majapahit) yang khas dan unik. Bedulu adalah sebuah catatan kebudayaan Bali yang hingga kini masih terjaga dibanding dengan era penerusnya seperti Samprangan, Gelgel dan Semarapura.